Kamis, 25 Juli 2013

أنا أحبك يا رسول الله

AKHLAK RASULULLAH DALAM KELUARGA


04 Mei

KEWIBAWAAN RASULULLAH DALAM BERKELUARGA
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa Nabi Muhammad adalah sosok manusia yang sempurna. Beliau adalah orang terpilih untuk dijadikan panutan bagi umat manusia. Beliau mempunyai sifat-sifat yang Arif dan Bijaksana. Sifat-sifat baiknya itu ditunjukkan pada semua umat manusia, baik pada kalangan keluarga, sahabat maupun semua penduduk disekitar. Dalam lingkungan keluarga, Nabi mendapat rahmat yang diperuntukkan bagi keluarganya.
Dalam keluarganya beliau berperan sebagai seorang ayah, suami dan pemimpin rumah tangga. Beliau sangat kerap membantu istrinya dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dalam buku Insan kamil karangan Dr. Sayyid Muhammad Alwy al-Maliky, disebutkan bahwa Al-‘Aswad datang bertanya kepada Aisyah apakah yang dikerjakan Nabi SAW bila ada dirumah? Aisyah menjawab: “Ia membantu istrinya, hingga apabila datang waktu shalat, maka ditinggalkannya apa yang dikerjakan. Beliau bukan orang yang congkak. Bahkan beliau mengerjakan sendiri apa yang diperlukan. Imam Ahmad dalam Musnad dari Aisyah berkata, “bahkan Nabi SAW menjahit baju dan memperbaiki sandalnya sendiri. Bekerja seperti halnya orang lain mengerjakannya”.
Nabi Muhammad SAW mempersonifikasikan peran dari ayah dan suami yang sempurna. Dia sangat baik dan toleran terhadap istri-istrinya sehingga mereka tak bisa membayangkan hidup tanpa dirinya, dan mereka tidak ingin jauh darinya.
Rasulullah adalah kepala keluarga yang sempurna. Menangani banyak wanita dengan tenang, menjadi kekasih hati mereka, pembimbing pikiran mereka, pendidik jiwa mereka dan sekaligus tidak lupa dengan persoalan umatnya atau mengabaikan tugasnya. Rasulullah sangat unggul dalam segala aspek kehidupannya.
Beliau adalah suami yang luar biasa, ayah yang sempurna, dan kakek yang istimewa dalam banyak hal. Beliau memperlakukan anak cucunya dengan kasih saying yang besar, dan tidak pernah lupa untuk membimbing mereka menuju akhirat dan mengajak mereka beramal baik. Beliau tersenyum pada mereka, merawat dan mencintai mereka. Dalam persoalan duniawi beliau sangat terbuka, tapi jika berhubungan dengan Allah, Beliau sangat serius dan bermartabat.
Beliau menunjukan kepada mereka bagaimana menjalani hidup secara manusiawi dan tidak membiarkan mereka mengabaikan kewajiban agama dan menjadi manja. Tujuan utamanya adalah mempersiapkan mereka untuk hari kemudian. Keseimbangannya yang sempurna dalam soal itu adalah dimensi lain dari inteleknya yang diilhami oleh Ilahi.
Dalam sebuah Hadits yang disampaikan oleh Muslim, Anas ibn Malik, yang menjadi pelayan Rasulullah selama 10 tahun, mengatakan:” aku tidak pernah melihat seorang pria yang lebih sayang kepada anggota keluarganya selain Muhammad SAW”.
Nabi dikaruniai banyak istri bukan semata-mata karena hawa nafsu, tapi karena untuk memberi nafkah secara terhormat kepada wanita dan janda yang tiada daya. Pernikahan ini tidak ada hubungannya dengan pemuasan diri, keinginan pribadi atau nafsu. Ini semua sama sekali bukan perbuatan bersenang-senang, tetapi tindakan disiplin diri.
SISTEM PEMBINAAN RUMAH TANGGA RASULULLAH
Kebiasaan rasul pada waktu pagi adalah mengunjungi istri-istrinya untuk memberikan petuah dan menanamkan ajaran agama. Sedangkan waktu untuk mengobrol atau bercumbu, beliau biasa melakukannya pada malam hari. Kalau sedang berada di rumah, beliau sering membantu istrinya. Tentang sifatnya di rumah, ‘Aisyah mengomentari: “Beliau tidak pernah memukul siapa pun, baik itu istri-istrinya maupun pembantunya”. Ketika diajukan pertanyaan apa saja yang dilakukannya di rumah, ‘Aisyah menjelaskan: “ Beliau selalu siap membantu istrinya. Jika tiba waktu shalat, beliau langsung beranjak untuk menunaikan shalat tersebut. Rasul sering menjahit sendiri pakaiannya yang sobek atau sandalnya, mengisi ember, memeras susu kambing, dan melayani dirinya sendiri bila mau makan. Pekerjaan sampingan tersebut dilakukannya pada waktu-waktu tertentu, terkadang dikerjakannya sendiri atau bersama istrinya, meskipun dia punya pembantu.” Selain itu, Rasulullah juga ternyata sering bercanda dengan istrinya, terutama dengan ‘Aisyah.
Adapun mengenai keadilan terhadap istri-istrinya, hal itu tampak sekali dalam beberapa kejadian. Misalnya, apabila rasul akan bepergian (yang tidak mungkin dilakukan dengan semua istri-istrinya), beliau mengundi mereka. Tak pernah sekalipun beliau menentukan langsung atau memilih salah seorang diantara mereka. Keadilan rasul juga tampak dalam hal menggilir istri-istri. Riwayat yang bersumber dari ‘Aisyah menyebutkan bahwa beliau tidak pernah mengistimewakan sebagian mereka dalam hal giliran. Selain itu, beliau juga selalu adil dalam pemberian nafkah dan membagi cinta kasihnya pada para istri.
Rasulullah memang merupakan profil seorang suami dengan sifat-sifatnya yang utama, penuh keteladanan, berwibawa, dan sangat santun. Tetapi itu bukan berarti dalam rumahtangga nabi sama sekali tidak pernah terjadi konflik. Rumah tangga nabi, sebagaimana rumah tangga yang lain, sering diwarnai gejolak konflik, seperti kemarahan salah satu pihak atau kecemburuan. Abu Dawud dan An-Nasa’i meriwayatkan bahwasanya ‘Aisyah becerita: “Aku belum pernah menemukan orang yang pandai memasak (untuk nabi, dan disuruhnya seseorang untuk mengantarkannya pada beliau ) kecuali Shafiah, padahal nabi sedang gilirannya di rumahku. Darahku naik bagaikan memenuhi rongga dadaku sampai terasa sesak dan tubuhku gemetar. Akibat perasaan cemburu yang tak terkendalikan itu, maka segera kubanting mangkoknya yang berisi makanan itu.” Menanggapi kecemburuan ‘Aisyah itu, nabi dengan sangat bijak hanya berkata dengan tenang: “Piring harus diganti piring, makanan harus diganti makanan”.
‘Aisyah memang sangat pencemburu, terutama dengan Khadijah yang selalu disanjung nabi. ‘Aisyah bercerita: “Pernah suatu kali nabi menjanjung Khadijah di depanku. Maka meledaklah lahar cemburu dalam hatiku. Lalu akau mengatakan kepadanya: Bukankah dia hanya seorang perempuan tua bangka tak bergairah? Kelebihan apakah yang dimiliki perempuan itu? Padahal Allah telah meberikan gantinya untukmu yang lebih dalam segala-galanya dibanding dia? Mendengar ucapanku, Rasul marah tak terkira, sampai anak rambut di bagian dahinya meremang lantaran kemarahan yang luar biasa itu. Kemudian beliau berkata: Tidak!! Demi Allah tidak! Allah tidak pernah menggantikannya dengan seorang perempuan lain yang lebih baik dari Khadijah. (Tahukah kau) dia beriman kepadaku tatkala orang lain menentang risalahku.” (HR. Ibnu Atsir).
Sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, konflik yang sangat besar terjadi ketika para istri nabi mengelompokkan diri menjadi dua kubu yang saling bermusuhan satu sama lain. Kelompok pertama ialah ‘Aisyah beserta sekutunya, yaitu Hafsah, Shafiyah, dan Saudah. Sedangkan kelompok yang kedua dipimpin oleh Ummu Salamah dengan para anggota: Zainab, Ummu Habibah, dan Juwairiyah. Dua kelompok ini timbul karena api cemburu dan berbagai latar belakang lainnya. Terhadap hal ini, nabi pun menyikapinya dengan sangat bijak dan sabar hingga akhirnya dua kubu tersebut dapat diperdamaikan.
Begitulah, dalam membina rumah tangganya, fungsi seorang suami sebagai pemimpin rumah tangga sangat nyata dipraktekkan oleh rasul. Beliau selalu mendengar aspirasi para istrinya, tetapi pengambilan keputusan tertinggi dan kewenangan mengatur rumah tangga tetap ada padanya. Acap kali istri-istri beliau mempergunakan kebebasan dalam berbicara, sedangkan beliau mendengarkan, menjawab, dan menyampaikan pendidikan. Sebagai seorang pemimpin rumah tangga, rasul selalu berusaha membimbing dan mengarahkan seluruh anggota keluarganya untuk bertakwa kepada Allah. Inilah mengapa rumah tangga rasul, meskipun sering terjadi konflik intern, tetap utuh dan stabil. Pemandangan ini sangat kontras perbedaannya dengan apa yang terjadi dewasa ini sebagai akibat arus feminisme ajaran barat, dimana fungsi kepemimpinan suami sudah tidak ada lagi dalam rumah tangga. Akibat hilangnya fungsi kepemimpinan suami itu, maka dalam rumah tangga tidak ada lagi pihak yang punya kewenangan untuk mengambil keputusan tertinggi. Rumah tangga pun menjadi sangat tidak stabil dan konflik yang terjadi seringkali berakhir perceraian.
Bagaimanapun, keluarga adalah sebuah organisasi kecil yang mau tidak mau, pasti akan butuh adanya pemimpin. Ini bukan persoalan bias gender atau tradisi patriarkhi, tetapi kenyataan watak kebutuhan dari sebuah organisasi bernama keluarga yang tak mungkin bisa kita pungkiri. Oleh karena itu, sangat tepat sekali ajaran Islam yang mengajarkan dan menetapkan bahwa suami berfungsi sebagai pemimpin rumah tangga. Hanya saja, dalam hal menjalankan fungsi kepemimpinannya, seorang suami harus mampu bersikap bijak dan adil, sebagaimana yang tampak dalam pribadi rasul. Suami juga tidak boleh menindas istrinya, membuatnya tertekan, apalagi sampai menyakitinya secara fisik.
Apabila kita mampu menerapkan prinsip-prinsip pembinaan rumah tangga nabi dalam kehidupan rumah tangga modern, maka maraknya persoalan pertikaian dan perceraian dalam kehidupan berkeluarga akan dapat teratasi Abu Ya’la meriwayatkan dari Aisyah. Ia pernah berkata “Aku mendatangi Rasulullah sambil membawa tepung yang sudah kumasak, lalu aku berkata kepada Saudah, dan beliau berada diantara diriku dan Saudah. ‘Makanlah’, namun Saudah enggan. Maka aku berkata lagi, ‘Kamu makan atau harus aku polesi wajahmu dengan tepung ini!’, Saudah tetap enggan. Tidak mau makan. Maka kuletakkan tangunku didalam tepung dan kupolesi wajah saudah dengannya, Rasulullah tertawa melihat tingkah kami berdua. Beliau meletakkan tangannya didalam tepung seraya berkata, ‘Ayo polesi wajah Aisyah!’, sambil tertawa kepada Saudah.”
Sudah kita ketahui bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang sempurna. Beliau mempunyai sifat-sifat yang bisa dijadikan panutan bagi semua umat manusia. Sifat-sifat baiknya itu ditunjukkan pada semua umat manusia, baik pada kalangan keluarga, sahabat maupun semua penduduk disekitar. Dalam lingkungan keluarga, Nabi mendapat rahmat yang diperuntukkan bagi keluarganya.
Dalam keluarganya beliau berperan sebagai seorang ayah, suami dan pemimpin rumah tangga. Beliau sangat kerap membantu istrinya dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Beliau bukan orang yang congkak. Bahkan beliau mengerjakan sendiri apa yang diperlukan. Imam Ahmad dalam Musnad dari Aisyah, bahkan Nabi SAW menjahit baju dan memperbaiki sandalnya sendiri. Bekerja seperti halnya orang lain mengerjakannya.
Beliau adalah suami yang luar biasa, ayah yang sempurna, dan kakek yang istimewa dalam banyak hal. Beliau memperlakukan anak cucunya denagn kasih sayang yang besar, dan tidak pernah lupa untuk membimbing mereka menuju akhirat dan mengajak mereka beramal baik. Beliau tersenyum pada mereka, merawat dan mencintai mereka. Dalam persoalan duniawi beliau sangat terbuka, tapi jika berhubungan dengan Allah, beliau sangat serius dan bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar